Rabu, 06 Juni 2012

Suling Lembang Toraja




          Suling Lembang merupakan alat musik dari Tana Toraja Sulawesi Selatan. Pa’suling merupakan sebutan pada instrumen jenis suling di Tana Toraja (termasuk suling deata, suling bonde,dll). Suling Lembang terbuat dari bambu bulo. Bulo merupakan jenis bambu yang tipis dengan ketebalan 2-3 mm. Panjang suling kurang lebih sekitar 80-100 cm dengan diameter 2cm. Mempunyai enam lubang yang berfungsi sebagai jarak antar nada. Namun demikian pa’suling/Suling Lembang juga didapati mempunyai lima lubang saja. Hal itu dikarenakan lubang ke dua dari bawah jarang sekali berfungsi sehingga dalam perkembangannya tidak dilubangi/sengaja dihilangkan.
Suling Lembang merupakan suling vertikal yang cara peniupannya melalui sinto. Sinto adalah bagian atas suling berbentuk seperti cincin yang berfungsi sebagai pengumpul dan perantara udara dari mulut sampai lubang masuk udara pada suling. Sinto apabila dalam suling jawa sering disebut dengan jamang. Bahan sinto terbuat dari penjalin dengan atau daun lontar.
Peran Suling Lembang sangat dominan pada beberapa jenis musik di Tanah Toraja. Salah satunya dalam Suling Deata sebagai ungkapan persembahan pada Dewa. Dewa di Tanah Toraja disebut dengan kata Deata. Beberapa Deata tersebut antara lain Deata tanggana langit (Deata yang menyangga langit), Deata bumi (Deata kepanaganna) isi Bumi (Deata tanggana padang). Hal ini merupakan salah satu pengaruh hindu budha yang masih mengakar hingga sekarang.
Analisa bentuk penyajian Suling Lembang pada Suling Deata berdasarkan pendengaran sebagai berikut. Penyajiannya bersama-sama dengan beberapa nada dasar. Dimainkan oleh tiga instrumen suling atau lebih. Peran dari dua Suling Lembang menjadi salah satu tiang nada yang hanya memainkan satu nada saja. Peran salah satu dari suling lembang memainkan melodi yang pola permainannya berangkat dari nada dasar sesuai dengan dua instrumen suling lain yang kemudian kembali pada nada dasar awal. Setelah berulang kali instrumen-instrumen tersebut mengganti nada dasarnya bersama-sama dengan perhitungan harmoni yang tepat.
          Tana Toraja pengungkapan kesedihan sangat kuat. Beberapa diantaranya diekspresikan melalui instrumen berupa pa’suling (suling lembang), gendang kecil (kamaru / garapung), geso-geso/kesok-kesok, gendang besar (gendang boro). Ungkapan kesedihan tersebut bisa berlangsung berjam-jam hingga berhari-hari. Selain hal tersebut persembahan berupa hewan kurban yang biasanya babi atau kerbau juga diwajibkan dalam suatu upacara itu. Sesuai dengan tingkatan kasta yang masih berlaku dalam adat tersebut. Semakin tinggi kastanya akan terlihat jelas jenis kemegahan dalam kepercayaan mengantarkan arwah ke tempat peristirahatan terakhir.
          Suling Lembang sendiri sebenarnya merupakan instrumen yang biasanya dimainkan tidak bersama-sama dalam arti bermain solo. Namun demikian dalam beberapa upacara tertentu Suling Lembang berkolaborasi dengan vokal dan suling yang serupa. Bentuk dari kolaborasi tersebut mempunyai sebutan nama yang berbeda. Salah satunya kolaborasi dengan vokal dan tarian disebut dengan Ma’marakka, Ma’bondensan sedangkan kolaborasi beberapa Suling Lembang tersebut disebut dengan suling Deata. Suling Deata sendiri di Tana Toraja mempunyai jenis yang berbeda-beda. Ada yang bentuk dan wujudnya seperti selompret yang terbuat dari daun kelapa serta ada yang berupa Pa’Suling. Namun demikian penyebutan Deata disini intinya merupakan persembahan pada Dewa.
 Nada–nada yang terdapat pada Suling Lembang merupakan nada pentatonis bukan nada diatonis. Nada-nada tersebut digolongkan berdasarkan rasa musikal yang disajikan di Tana Toraja. Salah satu suling yang penggunaan nada-nadanya diatonis adalah suling bulatta. Sedangkan Suling Lembang nada yang digunakan merupakan nada pentatonis Toraja.
Suling Lembang merupakan instrumen yang keberadaannya masih lokal dan belum menasional. Hal itu dikarenakan peran serta suling tersebut dalam musik digunakan sebagai upacara. Selain itu nada-nadanya menunjukan kedaerahan khas suku Toraja sehingga dalam perkembangannya hanya terdapat di Tanah Toraja.



                   
Gambar 1.  Suling Lembang



Fenomena “E” Pada Logat Bahasa Jawa Tengahan




          “E” merupakan bahasa yang tidak baku dalam kosa kata bahasa jawa. Kedudukannya sebatas tambahan dalam suku kata yang menunjukan penekanan terhadap suatu keterangan. Keterangan tersebut bisa berupa kata benda, kata sifat maupun kata kerja. Letak dari “E” juga bisa berada pada awal kata maupun akhir kata. Namun demikian tidak berpengaruh pada arti hanya sebatas penekanan yang menunjukan ekspresi gumun atau heran dan percaya.
          Beberapa wilayah di Jawa Tengah logat penambahan “E” masih banyak ditemukan. Misalnya di Tawangmangu kata “iyo” banyak yang menambah dengan logat “E” menjadi “e...iyo”. di daerah Kudus, kata “ngono” juga di tambah dengan logat “E” menjadi “e....ngono”. di Boyolali kata penggunaan konsonan tersebut pada kalimat “eee.... tobil anak kadal”. Sedangkan di Surakarta sendiri “E” juga sering dipakai untuk beberapa logat seperti “e e e . . . jan tenan kok”. Berdasarkan keterangan diatas yang menarik bukan dari arti ataupun maknanya tetapi logat atau nada yang terkandung di penambahan “E” itu sendiri. Penambahan “E” pada awal kata maupun kalimat tersebut grafiknya naik, dalam arti nadanya meninggi. Hal serupa juga terdapat pada lagu “e e e..... pakne thole”. Ini menunjukan bahwa adanya penekanan terhadap huruf konsonan yang menggunakan peralihan nada. Nada-nada tersebut apabila diamati dengan seksama sulit untuk dimasukkan dalam katagori tangga nada diatonik ataupun pentatonik.
          Notasi sederhana pada pola bentuk logat “e” yang terdapat di beberapa daerah tersebut memiliki struktur nada yang berbeda-beda. Seperti contoh logat di boyolali.
                                     1  1 j12 1 . . . . . . .
E   e   e    .   tobil anak kadal.
Selain pada nada penekanan terhadap tempo cepat lambat bunyi juga mempengaruhi logat bahasa tersebut. Misalnya pada daerah Tawangmangu jarak antara nada konsonan “e” dengan kata baku dekat dan tidak sejauh dengan logat “e” yang berada di daerah Kudus.      
Tawang mangu :            “e . . iyo”
Kudus               :            “e . . . . . ngono”
Nada-nada tersebut sebenarnya muncul dan lahir di masyarakat dan sudah menjadi satu bagian yang sulit untuk dicari awal mula penggunaannya. Namun demikian keberagaman konsonan dibeberapa wilayah tersebut menggunakan “e” bukan “ e’ ” ataupun “ ’e ”.
Hal serupa juga terdapat pada bahasa pedalangan yang biasanya terdapat pada logat wadyabala buta. Kata “e . . . lha dalah”, “e e e e.... bojleng-bojleng iblis laknat podo jejegalan”. Penekanan intonasi dan nada jelas terlihat dan dibentuk sedemikian rupa sehingga akrab di telinga pendengar. Nada-nada yang digunakan pada seni pertunjukan tersebut berpedoman pada nada-nada slendro ataupun pelog. Namun demikian pada penerapannya tidak selalu sesuai dengan nada-nada yang ada pada tangga nada slendro maupun pelog (sesuai dengan intuisi).
Dengan demikian pada dasarnya logat ditentukan dengan intonasi dan rangkaian nada-nada sesuai dengan nada lokal/kedaerahan masing-masing. Penggunaan konsonan “e” yang tersebar di beberapa wilayah Jawa Tengah tersebut hampir sama artiannya.